Manhajul Fikri, Apa Itu?
Ahlusunnah
wal Jama'ah adalah manhajul fikri organisasi PMII. Di atas prinsip ini lah PMII
berjalan. Sebagai manhajul fikri PMII berpegang penuh pada prinsip-prinsip
tawasuth (moderat), tawazun (netral), ta'adul (seimbang), dan tasamuh
(toleran). Bisa dipastikan mereka yang mengaku bagian dari PMII akan tetapi
tidak memegang keempat prinsip tersebut, maka belum lah sempurna ke PMII-annya.
Ahlusunnah
wal Jama'ah -disingkat ASWAJA- kerap kali menimbulkan berbagai macam perbedaan
pendapat di kalangan umat Islam mengenainya. Apa dan siapakah mereka yang
disebut Aswaja itu? Apakah mereka yang tahlilan? Maulidan? Tawasulan? Atau
mereka yang kerap kali membid'ah-bid'ahkan? Semuanya mengklaim diri mereka
sebagai Ahlusunnah. Hanya saja ada kelompok yang mendefinisikan Ahlusunnah
sebagai Ahlul Hadits dan ada pula yang menambahinya dengan konsep produksi
hukum dengan sistem konsensus (ijma') dan analogi (qiyas).
Apakah anda Ahlusunnah Wal Jama'ah?
Ahlusunnah
Wal Jama'ah terdiri dari tiga pokok kata (dalam bahasa arab: kalimah) yaitu,
Ahlu yang berarti keluarga, pengikut, komunitas, atau makna sejenis. Lalu
Sunnah yang diartikan sebagai As/ Nabi Muhammad yang berupa sabda (qaul),
perbuatan (fi'li), dan sikap (takrir). Hipotesanya, Ahlusunnah adalah mereka
-siapapun itu- yang mengaku sebagai muslim yang mengikuti dan menjalankan
hal-hal yang disabdakan atau yang berasal dari Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi
wasallam.
Tidak
hanya berhenti di situ, Ahlusunnah juga mencintai serta menghormati keluarga
nabi dan para sahabatnya serta mengikuti dan mengamalkan hal-hal baik yang juga
dilakukan oleh keduanya bahkan hingga generasi setelah mereka yang disebut
tabi'in, dan ulama setelahnya. Inilah yang disebut konsensus yang kemudian
istilah ini dalam bahasa arab di sebut Ijma'. Umat Islam yang mengikuti
mereka-mereka yang konstruksi berpikirnya sangat terjaga kautentikan sanadnya
hingga sampai pada nabi sudah pasti akan selamat dari hal hal negatif yang
tertolak olehnya. Oleh karena itu, kata Al-Jama'ah dipilih dan dinisbatkan
kepada mereka yang seperti tersebut di atas. Lalu pertanyaanya, adakah anda
termasuk seperti yang disebutkan di atas? Silahkan jawab oleh diri sendiri.
Berangkat
dari hadits Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam yang dalam konteksnya
mendefinisikan umat yang selamat dari fitnah dunia dan istiqomah dengan
amaliyah yang autentik hingga akhir hayatnya, teks (nash) hadits tersebut
adalah sebagai berikut:
افترقت
اليهود على احدى وسبعين فرقة وافترقت النصارى على اثنتين وسبعين فرقة وستفترق هذه الأمة
على ثلاث وسبعين فرقة كلها في النار الا واحدة قيل : من هي يا رسول الله؟ قال من كان
على مثل ما انا عليه وأصحابيز وفي بعض الروايات هي الجماعة
"Umat
Yahudi telah terpecah menjadi 71 golongan dan telah terpecah Umat Nasrani
menjadi 72 golongan dan umat ini akan terpecah menadi 73 golongan. Semuanya di
neraka kecuali satu saja. Dikatakan oleh para sahabat "Siapa mereka Ya
Rasulallah?", Rasul bersabda: "ialah yang tetap pada jalan yang aku
dan para sahabatku ada di atasnya". Dalam riwayat lain dikatakan bahwa
yang dimaksusd oleh Rasul adalah "Al Jama'ah". Hadits ini sohih dan
diriwayatkan oleh Imam Abi Dawud, Imam At Tirmidzi, Imam Ibn Majah, Imam Al
Hakim.
Kita
ketahui bahwasanya ada banyak firqoh-firqoh yang mengatasnamakan satu dari 73
golongan umat Muhammad. Kesemuanya berkoar bahwa mereka lah yang dimaksud oleh
nabi dalam sabdanya. Kita dapati bahwa umat agama samawi: Yahudi, Nasrani,
Islam telah terpecah ke dalam banyak sekali golongan. Umat Yahudi terpecah
menjadi 71 golongan, umat Nasrani menjadi 72 golongan, begitupun Umat Nabi
Muhammad terpecah menjadi 73 golongan dan hanya satu saja yang selamat. Al Jama'ah
seperti yang telah disinggung sebelumnya berarti orang-orang yang bukan hanya
mengikuti apa yang telah digariskan oleh nabi tetapi juga mengikuti jalan hidup
orang-orang setelah nabi.
Pemicu Lahirnya Aswaja
Senin,
2 Rabi'ul Awwal adalah hari berkabung seluruh makhluk. Bagaimana tidak? Hari
itu adalah Hari wafatnya manusia mulia Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam. Di tengah-tengah suasana berkabung itu, sekelompok orang yang terdiri
dari sahabat-sahabat Anshar -spesifikasi Bani Tsaqifah- sedang berdiskusi
membahas siapa yang paling pantas menduduki kepemimpinan umat Islam sepeninggal
Rasul. Diskusi ini dipimpin oleh Saad ibn 'Ubadah. Berita diskusi ini sampai ke
telinga sahabat-sahabat Muhajirin hingga Abu Bakar dan Umar ibn Khattab
mendatangi mereka meminta kejelasan maksud dari diskusi yang mereka gelar.
Alangkah terkejut sahabat Anshar Bani Tsaqifah ketika melihat dua orang mulia
dari golongan Muhajirin datang menghampiri mereka. Abu Bakar dan Umar merasa
tidak sepantasnya mereka mendiskusikan hal yang tidak secara eksplisit
disabdakan nabi di tengah suasana berkabung seperti itu. Setelah berdiskusi
panjang, singkatnya Sahabat Anshar mengajukan Sa'ad ibn "Ubadah untuk
menjadi nahkoda Umat Islam meneruskan Rasulullah shallalallahu 'alaihi wa
sallam dan Sahabat Muhajirin menyodorkan dua nama: Abu Bakar dan Umar ibn
Khattab. Dari ketiga nama tersebut, Abu Bakar terpilih menjadi khalifah Umat
Islam.
Kekhalifahan
Umat Islam sepeninggal rasul berlanjut selama 30 tahun melalui 4 sahabat mulia
dan 1 penyempurna yang disebut Khulafaur Rosyidin. Mereka di antaranya : Abu
Bakar, menjabat selama 2 tahun; Umar ibn Khattab, menjabat selama 10 tahun;
Utsman ibn Affan, menjabat selama 12 tahun, Ali ibn Abi Thalib selama 5 tahun
lebih beberapa bulan dan disempurnakan oleh puteranya Al-Hasan ibn Ali selama 6
bulan sebelum kekhalifahan berpindah ke tangan Dinasti Umayyah lalu Dinasti
Abbasiyah, dan Dinasti Utsmaniyyah.
Mulai
dari masa kekhalifaham Umar hingga Al Hasan berturut-turut terjadi fitnah yang
keji di kalangan para sahabat dan umat Islam. Fitnah ini menyulut konflik yang
menyebabkan terbunuhnya Umar, Utsman, Ali dan Al-Hasan. Setiap konflik pasti di
dalamnya memuat dua kubu yang bersebrangan yakni kubu pro dan kontra. Pada masa
itu ada kelompok yang membela salah satu sahabat dan membenci sahabat lainnya.
Ada pula kelompok yang keluar dari keduanya.
Pada
saat Perang Siffin yang terjadi antara kelompok Ali ibn Abi Thalib dan Muawiyah
ibn Abi Sufyan, dua pasukan saling berbenturan. Hingga di akhir perang terjadi
peristiwa tahkim yaitu pengangkatan Mushaf Al-Qur'an oleh kubu Muawiyah sebagai
pertanda berhentinya peperangan. Melihat kecerdikan Muawiyah, Ali ibn Abi Thalib
memerintahkan pasukannya untuk tetap menyerang kubu Muawiyah. Sontak sikap Ali
ini menyulut perhatian umat Islam di masa itu. Bagaimana tidak, ketika mushaf
Al-Qur'an ditinggikan, itu artinya tidak ada hukum yang lebih tinggi dari hukum
Allah dan ini adalah isyarat harus berhenti peperangan, sedangkan Ali masih
melanjutkan peperangan karena mengetahui ini hanya akal picik Muawiyah untuk
meraih kemenangan.
Setelah
Perang Siffin, umat Islam terbagi menjadi tiga golongan: 1) Pendukung Muawiyah
ibn Abi Sufyan; 2) Pendukung Ali ibn Abi Thalib; 3) Kelompok pengikut Ali yang
menyatakan berlepas diri dari segala hal berkaitan dengan Ali dan di sisi lain
juga tidak menyetujui Muawiyah dan pengikutnya. Walhasil, kelompok terakhir
adalah kelompok ekstremis yang dikenal dengan sebutan Khawarij, berasal dari
kata Khorij yang berarti orang yang keluar. Mereka keluar dari kelompok Ali
juga tidak setuju dengan Muawiyah. Di balik itu, ada kelompok ke empat yang
secara eksplisit tidak terkategorikan sebagai kelompok, yaitu mereka-mereka
yang tidak ikut campur dan memilih untuk menekuni ibadah kepada Allah dalam
rangka tazkiyatunnanfsi atau pembersihan jiwa dari dosa-dosa dan keburukan.
Jalan hidup mereka ini yang kemudian dikenal sebagai sufi.
Maulid-nya Aswaja
Jauh
setelah era Khulafaur Rosyidin, di era kekhalifahan Bani Abbasiyah -bernasab
kepada Al Abbas ibn Abdul Muttolib- tepatnya di era Khalifah Harun Ar Rasyid
seorang khalifah yang terkenal adil dan taat pada ulama, muncul pertanyaan-pertanyaan
tentang penciptaan alam semesta dan Al-Qur'an. Sebagian kelompok yang
menuhankan akal menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan apa yang ada di benak dan
otak mereka bukan dengan nash yang ada pada Al-Qur'an dan Sunnah. Kelompok ini
dikenal dengan firqoh Muktazilah. Orang-orang Muktazilah banyak mempelajari
filsafat dan logika ilmuwan Yunani tanpa diimbangi dengan pengalaman spiritual.
Meraka tidak mengimbanginya dengan ibadah dan ilmu-ilmu syari'at. Kaum
Muktazilah semakin menjadi-jadi saat pemerintahan jatuh ke tangan Al-Makmun. Di
era baru ini, Al-Makmun memberi ruang gerak tanpa batas kepada Muktazilah untuk
berpikir liar. Al-Makmun juga memfasilitasi mereka dengan program penerjemahan
buku-buku filsuf dan logika Yunani Kuno ke dalam Bahasa Arab.
Golongan
Ahlul Hadits yang terdiri dari para Imam Fiqih di antaranya Imam Syafi'i dan
Imam Ahmad menaruh perhatian khusus pada permasalahan Muktazilah ini. Imam
Syafi'i dan Imam Ahmad habis-habisan dalam memerangi pemikiran-pemikiran sesat
Muktazilah yang tidak sejalan dengan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi juga para ulama
generasi setelahnya baik dari kalangan sahabat atau tabi'in hingga
atbauttabi'in. Hingga kedua ulama ini wafat, faham Muktazilah masih belum sirna
dari muka bumi. Imam Syafi'i wafat tahun 204 H dan Imam Ahmad wafat tahun 241
H.
Baru
lebih dari 40 tahun setelah wafatnya Imam Ahmad, muncul seorang ulama yang ahli
dalam ilmu aqidah dan berhasil menumpas faham sesat Muktazilah. Seorang ulama
yang merasa tidak puas dengan pemahaman kelompok Muktazilah dan kemudian
menirikan faham baru yang dianut oleh mayoritas Umat Islam di dunia hingga hari
ini, ialah Abu Hasan Al-Asy'ari dan madzhab aqidahnya.
Abu
Hasan Al Asy'ari, Imam Besar Ahlusunnah wal Jama'ah Ali ibn Ismail adalah
seorang anak yang ditinggal wafat ayahnya kala ia berusia belia. Atas wasiat
ayahnya, ia menimba ilmu hadits kepada Imam Zakariya As Saji. Imam Zakariya As
Saji adalah seorang ulama hadits dan figh madzhab Hanbali. Beliau diketahui
sebagai salah satu murid terbaik Imam Ahmad ibn Hanbal. Selain Imam Zakariya As
Saji, Ali juga belajar kepada ulama-ulama lain di antaranya: Abu Khalaf Al-Jahmi,
Abu Sahl ibn Sarh, Muhammad ibn Ya'qub Al-Muqri, dan Abdurrahman ibn Khalaf Al-Basri.
Ibunya menikah lagi dengan seorang pimpinan Muktazilah di zamannya, Abu 'Ali Al-Jubba'i.
Ali kecil dididik oleh ayah sambungnya dengan pendidikan Muktazilah.
Menginjak
dewasa, Ali mulai banyak bertanya mengenai pemikiran pemikiran Muktazilah.
Uniknya, tidak semua pertanyaan Ali mampu dijawab oleh orang-orang Muktazilah
sendiri, hingga akhirnya Ali banyak belajar kepada ilmuwan-ilmuwan di zaman itu
salah satunya Abdullah ibn Sa'id Al-Kullabi. Abdullah ibn Sa'id Al-Kullabi
adalah seorang ulama aqidah yang tidak sejalan dengan faham Muktazilah, namun
ia juga tidak sejalan dengan ulama-ulama Ahlul Hadits atau Ahlu Sunnah, madzhab
aqidahnya disebut Kullabiyah. Ali belajar pada Abdullah ibn Sa'id Al-Kullabi
hingga mendekati usia 40 tahun. Ketika sampai pada usia 40 tahun, Ali membawa
pemahaman baru yang jauh berbeda dengan pemahaman guru-gurunya dari kelompok
Muktazilah dan Kullabiyah. la membangun argumen-argumennya di atas manhaj Al-Qur'an,
Sunnah, dan Qaul ulama-ulama hadits untuk mengalahkan argumentasi aliran-aliran
lain.
Suatu
waktu, Ali menemui jalan buntu dalam permasalan-permasalahan aqidah, lalu ali
shalat dua rakaat dan berdo'a meminta petunjuk kepada Allah. Ali pun tertidur. Tak
lama, bermimpi melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam tidurnya.
Dalam mimpinya, ali mengadu permasalahannya kepada rasul. Rasul pun berwasiat,
"tatapi lah sunnahku!". Kemudian Ali terbangun dan mengembalikan
permasalahan-permasalahannya pada Al-Qur'an dan Sunnah, lalu menetapi keduanya
sebagai manhajnya dan membuang selain keduanya.
Ali
Bernama lengkap Ali ibn Ismail ibn Ishaq ibn Salim ibn ismail ibn Abdullah ibn
Musa ibn Bilal ibn Abi Baradah ibn Abi Musa Al-Asy'ari. Nasabnya bersambung
kepada sahabat nabi Abu Musa Al-Asy'ari. Itulah kenapa ia dikenal dengan
panggilan (laqob) Abu Hasan Al-Asy'ari. Jadilah Abu Hasan Al-Asy'ari seorang
ulama ilmu aqidah bersama-sama satu ulama lain yang juga dari kalangan
Ahlusunnah yakni Abu Mansur Al-Maturidi. Kelak keduanya dikenal sebagai Imamain
(dua imam) dalam fan ilmu Aqidah yang hari ini telah di anut oleh hampir
seluruh umat Islam di dunia. Ajarannya dikenal dengan Ahlusunnah wal Jama'ah Al-Asy'ariyah.
Ahlusunnah wal Jama'ah An Nahdiyah
Nahdlatul
Ulama (NU) merupakan ormas Islam satu satunya di Indonesia yang menasbihkan
diri menganut faham aqidah Ahlusunnah wal Jama'ah (Aswaja). Dalam Qanun Asasi
(konstitusi dasar) NU yang dirumuskan Hadratussyekh KH. Hasyim Asy'ari, Aswaja
termaktub sebagai faham keagamaan (madzhab) dalam bidang aqidah. Mereka yang
disebut Aswaja menurut NU adalah yang dalam aqidah mengikuti produk intelektual
salah satu dari dua imam: Imam Abu Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi,
sedangkan dalam ilmu fiqh mengikuti salah satu dari empat imam: Abu Hanifah,
Malik ibn Anas, Muhammad ibn Idris Asy Syafi'i, dan Ahmad ibn Hanbal. Adapun
dalam bidang tasawuf mengikuti Imam Abu Hamid Al-Ghazali atau Imam Junaid Al-Baghdadi.
Ahlusunnah wal Jama'ah PMII
Terhitung
sejak 1995-1997, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) meletakkan Aswaja
sebagai manhajul fikri. Konsep gagasan Aswaja sebagai manhajul fikr tidak
terlepas dari kontribusi KH. Said Aqil Siradj yang mengundang kontroversi
mengenai perlunya kajian ulang Aswaja agar dapat memberikan kebebasan lebih
bagi para intelektual dan ulama untuk merujuk langsung kepada definisi Aswaja.
PMII
memandang orang-orang yang memiliki metode berpikir keagamaan mencakup semua
aspek kehidupan dengan landasan dasar modersi, menjaga keseimbangan, adil, dan
toleran. Bagi PMII Aswaja bukan sebuah madzhab melainkan sebuah metode dan
prinsip berpikir dalam menghadapi isu-isu keagamaan yang mengundang jawaban
jawaban yang kredibel. Selain itu PMII juga memandang Aswaja sebagai manhaj attaghoyyur wal ijtima' juga manhaj al-harokah.