Rabu, 01 Desember 2021

ASWAJA

 


Manhajul Fikri, Apa Itu?

Ahlusunnah wal Jama'ah adalah manhajul fikri organisasi PMII. Di atas prinsip ini lah PMII berjalan. Sebagai manhajul fikri PMII berpegang penuh pada prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tawazun (netral), ta'adul (seimbang), dan tasamuh (toleran). Bisa dipastikan mereka yang mengaku bagian dari PMII akan tetapi tidak memegang keempat prinsip tersebut, maka belum lah sempurna ke PMII-annya.

Ahlusunnah wal Jama'ah -disingkat ASWAJA- kerap kali menimbulkan berbagai macam perbedaan pendapat di kalangan umat Islam mengenainya. Apa dan siapakah mereka yang disebut Aswaja itu? Apakah mereka yang tahlilan? Maulidan? Tawasulan? Atau mereka yang kerap kali membid'ah-bid'ahkan? Semuanya mengklaim diri mereka sebagai Ahlusunnah. Hanya saja ada kelompok yang mendefinisikan Ahlusunnah sebagai Ahlul Hadits dan ada pula yang menambahinya dengan konsep produksi hukum dengan sistem konsensus (ijma') dan analogi (qiyas).

Apakah anda Ahlusunnah Wal Jama'ah?

Ahlusunnah Wal Jama'ah terdiri dari tiga pokok kata (dalam bahasa arab: kalimah) yaitu, Ahlu yang berarti keluarga, pengikut, komunitas, atau makna sejenis. Lalu Sunnah yang diartikan sebagai As/ Nabi Muhammad yang berupa sabda (qaul), perbuatan (fi'li), dan sikap (takrir). Hipotesanya, Ahlusunnah adalah mereka -siapapun itu- yang mengaku sebagai muslim yang mengikuti dan menjalankan hal-hal yang disabdakan atau yang berasal dari Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.

Tidak hanya berhenti di situ, Ahlusunnah juga mencintai serta menghormati keluarga nabi dan para sahabatnya serta mengikuti dan mengamalkan hal-hal baik yang juga dilakukan oleh keduanya bahkan hingga generasi setelah mereka yang disebut tabi'in, dan ulama setelahnya. Inilah yang disebut konsensus yang kemudian istilah ini dalam bahasa arab di sebut Ijma'. Umat Islam yang mengikuti mereka-mereka yang konstruksi berpikirnya sangat terjaga kautentikan sanadnya hingga sampai pada nabi sudah pasti akan selamat dari hal hal negatif yang tertolak olehnya. Oleh karena itu, kata Al-Jama'ah dipilih dan dinisbatkan kepada mereka yang seperti tersebut di atas. Lalu pertanyaanya, adakah anda termasuk seperti yang disebutkan di atas? Silahkan jawab oleh diri sendiri.

Berangkat dari hadits Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam yang dalam konteksnya mendefinisikan umat yang selamat dari fitnah dunia dan istiqomah dengan amaliyah yang autentik hingga akhir hayatnya, teks (nash) hadits tersebut adalah sebagai berikut:

افترقت اليهود على احدى وسبعين فرقة وافترقت النصارى على اثنتين وسبعين فرقة وستفترق هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة كلها في النار الا واحدة قيل : من هي يا رسول الله؟ قال من كان على مثل ما انا عليه وأصحابيز وفي بعض الروايات هي الجماعة

"Umat Yahudi telah terpecah menjadi 71 golongan dan telah terpecah Umat Nasrani menjadi 72 golongan dan umat ini akan terpecah menadi 73 golongan. Semuanya di neraka kecuali satu saja. Dikatakan oleh para sahabat "Siapa mereka Ya Rasulallah?", Rasul bersabda: "ialah yang tetap pada jalan yang aku dan para sahabatku ada di atasnya". Dalam riwayat lain dikatakan bahwa yang dimaksusd oleh Rasul adalah "Al Jama'ah". Hadits ini sohih dan diriwayatkan oleh Imam Abi Dawud, Imam At Tirmidzi, Imam Ibn Majah, Imam Al Hakim.

Kita ketahui bahwasanya ada banyak firqoh-firqoh yang mengatasnamakan satu dari 73 golongan umat Muhammad. Kesemuanya berkoar bahwa mereka lah yang dimaksud oleh nabi dalam sabdanya. Kita dapati bahwa umat agama samawi: Yahudi, Nasrani, Islam telah terpecah ke dalam banyak sekali golongan. Umat Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, umat Nasrani menjadi 72 golongan, begitupun Umat Nabi Muhammad terpecah menjadi 73 golongan dan hanya satu saja yang selamat. Al Jama'ah seperti yang telah disinggung sebelumnya berarti orang-orang yang bukan hanya mengikuti apa yang telah digariskan oleh nabi tetapi juga mengikuti jalan hidup orang-orang setelah nabi.

Pemicu Lahirnya Aswaja

Senin, 2 Rabi'ul Awwal adalah hari berkabung seluruh makhluk. Bagaimana tidak? Hari itu adalah Hari wafatnya manusia mulia Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Di tengah-tengah suasana berkabung itu, sekelompok orang yang terdiri dari sahabat-sahabat Anshar -spesifikasi Bani Tsaqifah- sedang berdiskusi membahas siapa yang paling pantas menduduki kepemimpinan umat Islam sepeninggal Rasul. Diskusi ini dipimpin oleh Saad ibn 'Ubadah. Berita diskusi ini sampai ke telinga sahabat-sahabat Muhajirin hingga Abu Bakar dan Umar ibn Khattab mendatangi mereka meminta kejelasan maksud dari diskusi yang mereka gelar. Alangkah terkejut sahabat Anshar Bani Tsaqifah ketika melihat dua orang mulia dari golongan Muhajirin datang menghampiri mereka. Abu Bakar dan Umar merasa tidak sepantasnya mereka mendiskusikan hal yang tidak secara eksplisit disabdakan nabi di tengah suasana berkabung seperti itu. Setelah berdiskusi panjang, singkatnya Sahabat Anshar mengajukan Sa'ad ibn "Ubadah untuk menjadi nahkoda Umat Islam meneruskan Rasulullah shallalallahu 'alaihi wa sallam dan Sahabat Muhajirin menyodorkan dua nama: Abu Bakar dan Umar ibn Khattab. Dari ketiga nama tersebut, Abu Bakar terpilih menjadi khalifah Umat Islam.

Kekhalifahan Umat Islam sepeninggal rasul berlanjut selama 30 tahun melalui 4 sahabat mulia dan 1 penyempurna yang disebut Khulafaur Rosyidin. Mereka di antaranya : Abu Bakar, menjabat selama 2 tahun; Umar ibn Khattab, menjabat selama 10 tahun; Utsman ibn Affan, menjabat selama 12 tahun, Ali ibn Abi Thalib selama 5 tahun lebih beberapa bulan dan disempurnakan oleh puteranya Al-Hasan ibn Ali selama 6 bulan sebelum kekhalifahan berpindah ke tangan Dinasti Umayyah lalu Dinasti Abbasiyah, dan Dinasti Utsmaniyyah.

Mulai dari masa kekhalifaham Umar hingga Al Hasan berturut-turut terjadi fitnah yang keji di kalangan para sahabat dan umat Islam. Fitnah ini menyulut konflik yang menyebabkan terbunuhnya Umar, Utsman, Ali dan Al-Hasan. Setiap konflik pasti di dalamnya memuat dua kubu yang bersebrangan yakni kubu pro dan kontra. Pada masa itu ada kelompok yang membela salah satu sahabat dan membenci sahabat lainnya. Ada pula kelompok yang keluar dari keduanya.

Pada saat Perang Siffin yang terjadi antara kelompok Ali ibn Abi Thalib dan Muawiyah ibn Abi Sufyan, dua pasukan saling berbenturan. Hingga di akhir perang terjadi peristiwa tahkim yaitu pengangkatan Mushaf Al-Qur'an oleh kubu Muawiyah sebagai pertanda berhentinya peperangan. Melihat kecerdikan Muawiyah, Ali ibn Abi Thalib memerintahkan pasukannya untuk tetap menyerang kubu Muawiyah. Sontak sikap Ali ini menyulut perhatian umat Islam di masa itu. Bagaimana tidak, ketika mushaf Al-Qur'an ditinggikan, itu artinya tidak ada hukum yang lebih tinggi dari hukum Allah dan ini adalah isyarat harus berhenti peperangan, sedangkan Ali masih melanjutkan peperangan karena mengetahui ini hanya akal picik Muawiyah untuk meraih kemenangan.

Setelah Perang Siffin, umat Islam terbagi menjadi tiga golongan: 1) Pendukung Muawiyah ibn Abi Sufyan; 2) Pendukung Ali ibn Abi Thalib; 3) Kelompok pengikut Ali yang menyatakan berlepas diri dari segala hal berkaitan dengan Ali dan di sisi lain juga tidak menyetujui Muawiyah dan pengikutnya. Walhasil, kelompok terakhir adalah kelompok ekstremis yang dikenal dengan sebutan Khawarij, berasal dari kata Khorij yang berarti orang yang keluar. Mereka keluar dari kelompok Ali juga tidak setuju dengan Muawiyah. Di balik itu, ada kelompok ke empat yang secara eksplisit tidak terkategorikan sebagai kelompok, yaitu mereka-mereka yang tidak ikut campur dan memilih untuk menekuni ibadah kepada Allah dalam rangka tazkiyatunnanfsi atau pembersihan jiwa dari dosa-dosa dan keburukan. Jalan hidup mereka ini yang kemudian dikenal sebagai sufi.

Maulid-nya Aswaja

Jauh setelah era Khulafaur Rosyidin, di era kekhalifahan Bani Abbasiyah -bernasab kepada Al Abbas ibn Abdul Muttolib- tepatnya di era Khalifah Harun Ar Rasyid seorang khalifah yang terkenal adil dan taat pada ulama, muncul pertanyaan-pertanyaan tentang penciptaan alam semesta dan Al-Qur'an. Sebagian kelompok yang menuhankan akal menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan apa yang ada di benak dan otak mereka bukan dengan nash yang ada pada Al-Qur'an dan Sunnah. Kelompok ini dikenal dengan firqoh Muktazilah. Orang-orang Muktazilah banyak mempelajari filsafat dan logika ilmuwan Yunani tanpa diimbangi dengan pengalaman spiritual. Meraka tidak mengimbanginya dengan ibadah dan ilmu-ilmu syari'at. Kaum Muktazilah semakin menjadi-jadi saat pemerintahan jatuh ke tangan Al-Makmun. Di era baru ini, Al-Makmun memberi ruang gerak tanpa batas kepada Muktazilah untuk berpikir liar. Al-Makmun juga memfasilitasi mereka dengan program penerjemahan buku-buku filsuf dan logika Yunani Kuno ke dalam Bahasa Arab.

Golongan Ahlul Hadits yang terdiri dari para Imam Fiqih di antaranya Imam Syafi'i dan Imam Ahmad menaruh perhatian khusus pada permasalahan Muktazilah ini. Imam Syafi'i dan Imam Ahmad habis-habisan dalam memerangi pemikiran-pemikiran sesat Muktazilah yang tidak sejalan dengan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi juga para ulama generasi setelahnya baik dari kalangan sahabat atau tabi'in hingga atbauttabi'in. Hingga kedua ulama ini wafat, faham Muktazilah masih belum sirna dari muka bumi. Imam Syafi'i wafat tahun 204 H dan Imam Ahmad wafat tahun 241 H.

Baru lebih dari 40 tahun setelah wafatnya Imam Ahmad, muncul seorang ulama yang ahli dalam ilmu aqidah dan berhasil menumpas faham sesat Muktazilah. Seorang ulama yang merasa tidak puas dengan pemahaman kelompok Muktazilah dan kemudian menirikan faham baru yang dianut oleh mayoritas Umat Islam di dunia hingga hari ini, ialah Abu Hasan Al-Asy'ari dan madzhab aqidahnya.

Abu Hasan Al Asy'ari, Imam Besar Ahlusunnah wal Jama'ah Ali ibn Ismail adalah seorang anak yang ditinggal wafat ayahnya kala ia berusia belia. Atas wasiat ayahnya, ia menimba ilmu hadits kepada Imam Zakariya As Saji. Imam Zakariya As Saji adalah seorang ulama hadits dan figh madzhab Hanbali. Beliau diketahui sebagai salah satu murid terbaik Imam Ahmad ibn Hanbal. Selain Imam Zakariya As Saji, Ali juga belajar kepada ulama-ulama lain di antaranya: Abu Khalaf Al-Jahmi, Abu Sahl ibn Sarh, Muhammad ibn Ya'qub Al-Muqri, dan Abdurrahman ibn Khalaf Al-Basri. Ibunya menikah lagi dengan seorang pimpinan Muktazilah di zamannya, Abu 'Ali Al-Jubba'i. Ali kecil dididik oleh ayah sambungnya dengan pendidikan Muktazilah.

Menginjak dewasa, Ali mulai banyak bertanya mengenai pemikiran pemikiran Muktazilah. Uniknya, tidak semua pertanyaan Ali mampu dijawab oleh orang-orang Muktazilah sendiri, hingga akhirnya Ali banyak belajar kepada ilmuwan-ilmuwan di zaman itu salah satunya Abdullah ibn Sa'id Al-Kullabi. Abdullah ibn Sa'id Al-Kullabi adalah seorang ulama aqidah yang tidak sejalan dengan faham Muktazilah, namun ia juga tidak sejalan dengan ulama-ulama Ahlul Hadits atau Ahlu Sunnah, madzhab aqidahnya disebut Kullabiyah. Ali belajar pada Abdullah ibn Sa'id Al-Kullabi hingga mendekati usia 40 tahun. Ketika sampai pada usia 40 tahun, Ali membawa pemahaman baru yang jauh berbeda dengan pemahaman guru-gurunya dari kelompok Muktazilah dan Kullabiyah. la membangun argumen-argumennya di atas manhaj Al-Qur'an, Sunnah, dan Qaul ulama-ulama hadits untuk mengalahkan argumentasi aliran-aliran lain.

Suatu waktu, Ali menemui jalan buntu dalam permasalan-permasalahan aqidah, lalu ali shalat dua rakaat dan berdo'a meminta petunjuk kepada Allah. Ali pun tertidur. Tak lama, bermimpi melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam tidurnya. Dalam mimpinya, ali mengadu permasalahannya kepada rasul. Rasul pun berwasiat, "tatapi lah sunnahku!". Kemudian Ali terbangun dan mengembalikan permasalahan-permasalahannya pada Al-Qur'an dan Sunnah, lalu menetapi keduanya sebagai manhajnya dan membuang selain keduanya.

Ali Bernama lengkap Ali ibn Ismail ibn Ishaq ibn Salim ibn ismail ibn Abdullah ibn Musa ibn Bilal ibn Abi Baradah ibn Abi Musa Al-Asy'ari. Nasabnya bersambung kepada sahabat nabi Abu Musa Al-Asy'ari. Itulah kenapa ia dikenal dengan panggilan (laqob) Abu Hasan Al-Asy'ari. Jadilah Abu Hasan Al-Asy'ari seorang ulama ilmu aqidah bersama-sama satu ulama lain yang juga dari kalangan Ahlusunnah yakni Abu Mansur Al-Maturidi. Kelak keduanya dikenal sebagai Imamain (dua imam) dalam fan ilmu Aqidah yang hari ini telah di anut oleh hampir seluruh umat Islam di dunia. Ajarannya dikenal dengan Ahlusunnah wal Jama'ah Al-Asy'ariyah.

Ahlusunnah wal Jama'ah An Nahdiyah

Nahdlatul Ulama (NU) merupakan ormas Islam satu satunya di Indonesia yang menasbihkan diri menganut faham aqidah Ahlusunnah wal Jama'ah (Aswaja). Dalam Qanun Asasi (konstitusi dasar) NU yang dirumuskan Hadratussyekh KH. Hasyim Asy'ari, Aswaja termaktub sebagai faham keagamaan (madzhab) dalam bidang aqidah. Mereka yang disebut Aswaja menurut NU adalah yang dalam aqidah mengikuti produk intelektual salah satu dari dua imam: Imam Abu Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi, sedangkan dalam ilmu fiqh mengikuti salah satu dari empat imam: Abu Hanifah, Malik ibn Anas, Muhammad ibn Idris Asy Syafi'i, dan Ahmad ibn Hanbal. Adapun dalam bidang tasawuf mengikuti Imam Abu Hamid Al-Ghazali atau Imam Junaid Al-Baghdadi.

Ahlusunnah wal Jama'ah PMII

Terhitung sejak 1995-1997, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) meletakkan Aswaja sebagai manhajul fikri. Konsep gagasan Aswaja sebagai manhajul fikr tidak terlepas dari kontribusi KH. Said Aqil Siradj yang mengundang kontroversi mengenai perlunya kajian ulang Aswaja agar dapat memberikan kebebasan lebih bagi para intelektual dan ulama untuk merujuk langsung kepada definisi Aswaja.

PMII memandang orang-orang yang memiliki metode berpikir keagamaan mencakup semua aspek kehidupan dengan landasan dasar modersi, menjaga keseimbangan, adil, dan toleran. Bagi PMII Aswaja bukan sebuah madzhab melainkan sebuah metode dan prinsip berpikir dalam menghadapi isu-isu keagamaan yang mengundang jawaban jawaban yang kredibel. Selain itu PMII juga memandang Aswaja sebagai manhaj attaghoyyur wal ijtima' juga manhaj al-harokah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar