Senin, 18 Oktober 2021

Artikel Hadits Shohih Riwayat Muslim No. 70



A.      Hadits Shohih Riwayat Muslim: no. 70

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ كِلَاهُمَا عَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ وَهَذَا حَدِيثُ أَبِي بَكْرٍ قَالَ أَوَّلُ مَنْ بَدَأَ بِالْخُطْبَةِ يَوْمَ الْعِيدِ قَبْلَ الصَّلَاةِ مَرْوَانُ فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ الصَّلَاةُ قَبْلَ الْخُطْبَةِ فَقَالَ قَدْ تُرِكَ مَا هُنَالِكَ فَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ أَمَّا هَذَا فَقَدْ قَضَى مَا عَلَيْهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ إِسْمَعِيلَ بْنِ رَجَاءٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ وَعَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ فِي قِصَّةِ مَرْوَانَ وَحَدِيثِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ حَدِيثِ شُعْبَةَ وَسُفْيَانَ

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakar bin Abu Syaibah] telah menceritakan kepada kami [Waki'] dari [Sufyan]. (dalam riwayat lain disebutkan) Dan telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin al-Mutsanna] telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Ja'far] telah menceritakan kepada kami [Syu'bah] keduanya dari [Qais bin Muslim] dari [Thariq bin Syihab] dan ini adalah hadits Abu Bakar, "Orang pertama yang berkhutbah pada Hari Raya sebelum shalat Hari Raya didirikan ialah Marwan. Lalu seorang lelaki berdiri dan berkata kepadanya, "Shalat Hari Raya hendaklah dilakukan sebelum membaca khutbah." Marwan menjawab, "Sungguh, apa yang ada dalam khutbah sudah banyak ditinggalkan." Kemudian [Abu Said] berkata, "Sungguh, orang ini telah memutuskan (melakukan) sebagaimana yang pernah aku dengar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bersabda: "Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman." Telah menceritakan kepada kami [Abu Kuraib Muhammad bin al-Ala'] telah menceritakan kepada kami [Abu Mua'wiyah] telah menceritakan kepada kami [al-A'masy] dari [Ismail bin Raja'] dari [bapaknya] dari [Abu Sa'id al-Khudri] dari [Qais bin Muslim] dari [Thariq bin Syihab] dari [Abu Sa'id al-Khudri] dalam kisah Marwan, dan hadits Abu Sa'id dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, seperti hadits Syu'bah dan Sufyan."

B.      Memahami Hadist

1. Perintah kepada siapa saja yang melihat kemungkaran untuk mengubahnya sesuai kemampuan yang dimiliki seseorang.

Salah satu yang bisa dilakukan saat melihat kemungkaran yakni dengan menunjukkan sikap harus menunjukkan sikap pembelaan dan loyalitasnya kepada Allah dengan berusaha mengubah kemungkaran tersebut. oleh sebab itu, saat melihat kemungkaran, kita seorang mukmin tidak boleh abai, diam, apalagi sampai ridha dan mendukung. Itulah ciri dari mukmin sejati. Allah berfirman, "Kalian adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia. Kalian menyuruh kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran," (QS. Ali-Imran: 110).

2. Melarang suatu kemungkaran sampai diyakini bahwa hal itu adalah benar-benar kemungkaran. Bukan merupakan sesuatu yang masih bersifat khilafiyah. Nabi SAW menyebut kemungkaran dalam bentuk nakirah (indefinit). Apa artinya? Artinya, kemungkaran yang dimaksud berlaku umum. Berlaku pada semua jenis kemungkaran. Berlaku pada semua tindakan yang dilarang oleh Allah SWT dan Rasul SAW (amal ma’rufnahi munkar). Dengan demikian, ia tidak hanya terbatas pada urusan akidah, ibadah mahdah, dan seterusnya.

3. Tangan bisa bermakna tangan secara fisik, atau tangan secara maknawi, yaitu kekuasaan.

Mengubah kemungkaran dengan tangan (kekuasaan) diletakkan oleh Nabi SAW dalam urutan pertama. Mengapa demikian? Karena, kekuasaan itulah yang memiliki peran paling strategis dan efektif dalam mengubah kemungkaran. Apalagi, kemungkaran yang terjadi bersifat masif. Betapa banyak dakwah, nasihat, dan petuah agama disampaikan tetapi menjadi kurang efektif saat dirusak oleh tayangan media dan regulasi kebijakan yang menyimpang atau tidak sesuai dengan apa yang disampaikan.

Mengubah kemungkaran menjadi sangat efektif ketika dilakukan lewat kekuasaan. Namun, jika kekuasaan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, yang tidak layak, yang tidak beriman, maka tunggu saat kehancurannya. Rasul SAW bersabda, "Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi." Ada seorang sahabat bertanya, "Bagaimana maksud amanat disia-siakan?" Nabi menjawab, "Jika urusan diserahkan bukan kepada orang yang tidak tepat, tunggulah kehancuran itu." (HR al-Bukhari).

4. Iman adalah kombinasi antara keyakinan dalam hati, ikrar dengan lisan dan ditunjukkan dalam bentuk amal perbuatan.

Ada ulama yang menyatakan iman itu adalah ucapan dan perbuatan. Iman ini dinamakan juga ucapan hati. Makna iman yang ada di dalam hati juga berati lawan dari kekafiran. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa iman adalah keyakinan yang terbentuk di dalam hati dan itu adalah makna iman yang utama. Kata iman dalam Al Quran dan As-Sunnah diartikan sebagai amal (aktivitas). Allah SWT berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 143. Artinya: "Dan Allah akan menyia-nyiakan imanmu." Maksud dari imanmu adalah salatmu (wahai Muhammad) yang kau kerjakan ketika masih berkiblat ke arah Baitul Maqdis. Iman merupakan keyakinan dalam hati yang dituturkan dengan lisan dan diamalkan dalam perbuatan. Itulah pendapat mayoritas ulama.

Menurut Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Al Auza’i, Ishaq bin Rahawaih, iman adalah pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan aman dengan anggota badan. Para ulama salaf menjadikan amal termasuk unsur keimanan. Banyak di antara ulama madzhab Hanafi yang mengikuti definisi sebagaimana yang disebutkan oleh Ath-Thahawi. Iman adalah pengakuan dengan lisan dan pembenaran dengan hati. Ada pula yang mengatakan bahwa pengakuan dengan lisan adalah rukun tambahan saja dan bukan rukun asli.




SYAFI’ATUL AMALAH – 04020120065

KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM – A4

TUGAS HADITS DAKWAH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar